Becak dan delman amat dominan masa itu, persimpangan Soko mulai riuh dengan bunyi kalung kuda yang terangguk angguk mengikuti ayunan cemeti sang kusir. Dari arah selatan dan membelok ke barat sebuah sedan hitam ber-plat AB melaju dari arah yang berlawanan dengan arus becak dan delman. Brigadir Royadin memandang dari kejauhan, sementara sedan hitam itu melaju perlahan menuju kearahnya. Dengan sigap ia menyeberang jalan ditepi posnya, ayunan tangan kedepan dengan posisi membentuk sudut sembilan puluh derajat menghentikan laju sedan hitam itu. Sebuah sedan tahun lima puluhan yang amat jarang berlalu di jalanan Pekalongan berhenti dihadapannya.
Saat mobil menepi, Brigadir Royadin menghampiri sisi kanan pengemudi dan memberi hormat.
"Selamat pagi!" Brigadir Royadin memberi hormat dengan sikap sempurna. "Boleh ditunjukan rebuwes!" Ia meminta surat-surat mobil berikut surat ijin mengemudi kepada lelaki di balik kaca, jaman itu surat mobil masih diistilahkan rebuwes.
Perlahan, pria berusia sekitar setengah abad menurunkan kaca samping secara penuh.
"Ada apa pak polisi?" tanya pria itu. Brigadir Royadin tersentak kaget, ia mengenali siapa pria itu. "Ya Allah...sinuwun!" kejutnya dalam hati. Gugup bukan main namun itu hanya berlangsung sedetik, naluri polisinya tetap menopang tubuh gagahnya dalam sikap sempurna.
"Bapak melangar verbodden, tidak boleh lewat sini, ini satu arah!" Ia memandangi pria itu yang tak lain adalah Sultan Jogja, Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Dirinya tak habis pikir, orang sebesar sultan HB IX mengendarai sendiri mobilnya dari Jogja ke Pekalongan yang jauhnya cukup lumayan, entah tujuannya kemana.
Setelah melihat rebuwes, Brigadir Royadin mempersilahkan Sri Sultan untuk mengecek tanda larangan verboden di ujung jalan, namun sultan menolak.
"Ya... saya salah, kamu benar, saya pasti salah!" Sinuwun turun dari sedannya dan menghampiri Brigadir Royadin yang tetap menggengam rebuwes tanpa tahu harus berbuat apa.
"Jadi...?" Sinuwun bertanya, pertanyaan yang singkat namun sulit bagi brigadir Royadin menjawabnya.
"Em..emm..bapak saya tilang, mohon maaf!" Brigadir Royadin heran, sinuwun tak kunjung menggunakan kekuasaannya untuk paling tidak bernegosiasi dengannya, jangankan begitu, mengenalkan dirinya sebagai pejabat Negara dan Raja pun beliau tidak melakukannya.
"Baik..Brigadir, kamu buatkan surat itu, nanti saya ikuti aturannya, saya harus segera ke Tegal!" Sinuwun meminta brigadir Royadin untuk segera membuatkan surat tilang. Dengan tangan bergetar ia membuatkan surat tilang, ingin rasanya tidak memberikan surat itu tapi tidak tahu kenapa ia sebagai polisi tidak boleh memandang beda pelanggar kesalahan yang terjadi di depan hidungnya. Yang paling membuatnya sedikit tenang adalah tidak sepatah katapun yang keluar dari mulut sinuwun menyebutkan bahwa dia berhak mendapatkan dispensasi. "Sungguh orang yang besar...!" begitu gumamnya.
Surat tilang berpindah tangan, rebuwes saat itu dalam genggamannya dan ia menghormat pada sinuwun sebelum sinuwun kembali memacu Sedan hitamnya menuju ke arah barat, Tegal.
Beberapa menit sinuwun melintas di depan stasiun pekalongan, brigadir Royadin menyadari kebodohannya, kekakuannya dan segala macam pikiran berkecamuk. Ingin ia memacu sepeda ontelnya mengejar Sedan hitam itu tapi manalah mungkin. Nasi sudah menjadi bubur dan ketetapan hatinya untuk tetap menegakkan peraturan pada siapapun berhasil menghibur dirinya.
Saat aplusan di sore hari dan kembali ke markas, ia menyerahkan rebuwes kepada petugas jaga untuk diproses hukum lebih lanjut, lalu kembali ke rumah dengan sepeda abu-abu tuanya.
Saat apel pagi esok harinya, suara amarah meledak di markas polisi Pekalongan, nama Royadin diteriakkan berkali-kali dari ruang komisaris. Beberapa polisi tergopoh-gopoh menghampirinya dan memintanya menghadap komisaris polisi selaku kepala kantor.
"Royadin, apa yang kamu lakukan?! Sa'enake dewe.. ora mikir! Iki sing mbok tangkep sopo heh!? Ngawur..ngawur!" Komisaris mengumpat dalam bahasa Jawa, ditangannya rebuwes milik Sinuwun pindah dari telapak kanan ke kiri bolak-balik.
"Sekarang aku mau tanya, kenapa kamu tidak lepas saja sinuwun? Biarkan lewat, wong kamu tahu siapa dia, ngerti nggak kowe sopo sinuwun?" Komisaris tak menurunkan nada bicaranya.
"Siap pak, beliau tidak bilang beliau itu siapa, beliau ngaku salah.. dan memang salah!" brigadir Royadin menjawab tegas.
"Ya tapi kan kamu mestinya ngerti siapa dia.. ojo kaku-kaku, kok malah mbok tilang..ngawu..jan ngawur! Ini bisa panjang, bisa sampai Menteri!" Derai komisaris. Saat itu kepala polisi dijabat oleh Menteri Kepolisian Negara.
Brigadir Royadin pasrah, apapun yang dia lakukan dasarnya adalah posisinya sebagai polisi, yang disumpah untuk menegakkan peraturan pada siapa saja.. memang koppeg (keras kepala) kedengarannya.
Kepala polisi Pekalongan berusaha mencari tahu dimana gerangan sinuwun, masih di Tegal kah atau tempat lain? Tujuannya cuma satu, mengembalikan rebuwes. Namun tidak seperti saat ini yang demikian mudahnya bertukar kabar, keberadaan sinuwun tak kunjung diketahui hingga beberapa hari. Pada akhirnya kepala polisi Pekalongan mengutus beberapa petugas ke Jogja untuk mengembalikan rebuwes tanpa mengikutsertakan Brigadir Royadin.
Usai mendapat marah, Brigadir Royadin bertugas seperti biasa, satu minggu setelah kejadian penilangan, banyak teman-temannya yang mentertawakan bahkan ada isu yang ia dengar dirinya akan dimutasi ke pinggiran kota Pekalongan Selatan.
Suatu sore, saat belum habis jam dinas, seorang kurir datang menghampirinya di persimpangan Soko yang memintanya untuk segera kembali ke kantor. Sesampai di kantor beberapa polisi menggiringnya ke ruang komisaris yang saat itu tengah menggengam selembar surat.
"Royadin... minggu depan kamu diminta pindah!" lemas tubuh Royadin, ia membayangkan harus menempuh jalan menanjak di pinggir kota Pekalongan setiap hari, karena mutasi ini, karena ketegasan sikapnya di persimpangan Soko.
"Siap pak!" Royadin menjawab datar.
"Bersama keluargamu semua, dibawa!" pernyataan Komisaris mengejutkan, untuk apa bawa keluarga ke tepi Pekalongan Selatan? Ini hanya merepotkan diri saja.
"Saya sanggup setiap hari pakai sepeda pak Komandan, semua keluarga biar tetap di rumah sekarang!" Brigadir Royadin menawar.
"Ngawur... Kamu sanggup bersepeda Pekalongan–Jogja? Pindahmu itu ke Jogja bukan disini! Sinuwun yang minta kamu pindah tugas kesana, pangkatmu mau dinaikkan satu tingkat!" Cetus pak Komisaris, disodorkan surat yang ada digenggamannya kepada brigadir Royadin.
Surat itu berisi permintaan bertuliskan tangan yang intinya: "Mohon dipindahkan brigadir Royadin ke Jogja, sebagai polisi yang tegas saya selaku pemimpin Jogjakarta akan menempatkannya di wilayah Jogjakarta bersama keluarganya dengan meminta Kepolisian untuk menaikkan pangkatnya satu tingkat." Ditandatangani Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Tangan brigadir Royadin bergetar, namun ia segera menemukan jawabannya. Ia tak sangup menolak permintaan orang besar seperti Sultan HB IX namun dia juga harus mempertimbangkan seluruh hidupnya di kota Pekalongan. Ia cinta Pekalongan dan tak ingin meninggalkan kota ini.
"Mohon bapak sampaikan ke Sinuwun, saya berterima kasih, saya tidak bisa pindah dari Pekalongan, ini tanah kelahiran saya, rumah saya. Sampaikan hormat saya pada beliau, dan sampaikan permintaan maaf saya pada beliau atas kelancangan saya!" Brigadir Royadin bergetar, ia tak memahami betapa luasnya hati Sinuwun Sultan HB IX, amarah hanya diperolehnya dari sang Komisaris namun penghargaan tinggi justru datang dari orang yang menjadi korban ketegasannya.
Juli 2010, saat saya mendengar kepergian purnawirawan polisi Royadin kepada sang Khalik dari keluarga di Pekalongan, saya tak memilki waktu cukup untuk menghantar kepergiannya. Suaranya yang lirih saat mendekati akhir hayat masih saja mengiangkan cerita kebanggaannya ini pada semua sanak famili yang berkumpul. Ia pergi meninggalkan kesederhanaan perilaku dan prinsip kepada keturunannya, sekaligus kepada saya selaku keponakannya. Idealismenya di kepolisian Pekalongan tetap ia jaga sampai akhir masa baktinya, pangkatnya tak banyak bergeser terbelenggu idealisme yang selalu dipegangnya erat-erat yaitu ketegasan dan kejujuran.
Hormat amat sangat kepadamu Pak Royadin, Sang Polisi sejati. Dan juga kepada pahlawan bangsa Sultan Hamengkubuwono IX yang keluasan hatinya melebihi wilayah negeri ini dari Sabang sampai Merauke.
Sumber: http://jogjakini.wordpress.com/2011/12/09/kisah-nyata-ketika-sri-sultan-hb-ix-terkena-tilang-di-pekalongan/
0 komentar:
Post a Comment